Skeptis adalah sikap yang cenderung meragukan kemampuan kognitif—atau sederhananya, sikap yang selalu bertanya “Benarkah aku bisa?” dan “Jangan-jangan semua ini cuma mimpi kosong?”
Ini adalah blog keduaku. Tulisan-tulisanku di sini berisi apa yang aku pikirkan, aku lihat, dan aku rasakan. Semua hal-hal gila dan antimainstream yang berkeliaran di balik isi kepalaku kubiarkan keluar dengan bebas. Di blog ini aku ingin menjadi diriku sendiri, lepas tanpa aturan, dan tidak terlalu peduli pada urusan SEO-nya Eyang Google yang rasanya makin hari makin rumit—setidaknya rumit menurutku, ibu biasa yang masih meraba dunia perblogeran.
Berbeda dengan blog pertamaku, di sana aku patuh betul pada aturan-aturan Eyang Google. Harapannya jelas: tulisanku dilirik Adsense dan bisa jadi ladang cuan seperti para blogger sukses di luar sana.
Hmmm… ujung-ujungnya duit juga, kan? Ya dong. Selama bumi masih berputar dan hidup masih berjalan, kita masih butuh uang. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Apa yang aku lakukan, kamu lakukan, mereka lakukan—semua pasti ada tujuan untuk menghasilkan uang.
Dan itu bukan hal yang salah. Di era digital ini, kita memanfaatkan waktu dan peluang sebisa mungkin. Meski banyak cibiran yang bilang semua ini tidak masuk akal bagiku, mimpi yang dianggap tidak realistis oleh mereka yang belum mengenalku sepenuhnya—gak apa-apa. Semua orang bebas menilai. Wajar saja kalau mereka ragu, karena yang mereka lihat aku hanyalah perempuan biasa yang tidak tamat SMA. Bagaimana mungkin, menurut mereka, aku bisa bermimpi menjadi blogger sukses hanya dengan modal otak random, hobi nulis, dan kemampuan begadang sampai pagi?
Mereka boleh yakin dengan pendapat mereka tentangku. Tapi aku juga berhak optimis dengan mimpiku. Aku bukan tipe orang yang mau menerima “kebodohan” dalam diriku begitu saja. Aku tidak rela melihat orang lain bisa, sementara aku hanya diam merasa tidak mampu. Aku tidak ingin dipandang hina hanya karena aku tidak tahu apa-apa.
Lagipula, kita diciptakan oleh Tuhan yang sama. Formulanya sama. Kesempatannya pun tidak pernah hilang. Karena itu, aku akan terus belajar tentang hal-hal yang belum bisa kulakukan. Aku akan mengejar apa yang sudah lebih dulu dicapai orang lain. Dalam hidup ini, tidak ada kata terlambat untuk memulai lagi, atau mengejar apa yang pernah tercecer di jalan.
Kuncinya cuma satu: belajar dan terus belajar. Belajar kapan saja, pada siapa saja, dan di mana saja—termasuk lewat blog ini. Meski semua ini baru bagiku, aku tidak takut mencoba. Aku ingin membuktikan pada mereka… dan lebih penting lagi, pada diriku sendiri… bahwa inilah salah satu jalan untuk mewujudkan mimpiku yang jumlahnya kadang kelewat banyak.
Bagiku, hidup adalah perjuangan dan pengalaman—dua guru yang tak pernah berhenti berbicara.
Sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu sejak tulisan ini pertama kali kutulis pada 25 Maret 2022, aku tersadar sesuatu: optimisme ternyata bukan perkara seberapa besar mimpi yang kupunya, tetapi seberapa keras aku bertahan ketika hidup memaksaku jatuh berkali-kali.
Perjalanan hidup setelah 2022 tidak pernah semudah bayanganku. Ada musibah bertubi-tubi yang merobohkan usahaku. Ada malam-malam gelap yang menguras tenaga, air mata, bahkan harapan. Tapi justru dari masa-masa itulah aku menemukan diriku yang tidak pernah kukenal sebelumnya—diriku yang keras kepala terhadap takdir dan menolak menyerah meski jalannya pincang.
Sekarang aku sudah mulai belajar lebih banyak tentang dunia blog, dunia digital, dunia produktivitas, dunia konten, bahkan dunia AI yang dulu terasa asing. Aku masih pemula, masih sering bingung, masih harus melihat tutorial YouTube untuk hal-hal sederhana. Tapi setidaknya aku sudah lebih berani, lebih cerdas, dan lebih mengetahui ke mana arahku berjalan.
Kalau dulu aku menulis tulisan ini dengan harapan menjadi blogger sukses, hari ini aku menulis ulangnya dengan keyakinan bahwa aku memang sedang menuju ke sana, selangkah demi selangkah. Pelan, tapi pasti. Luka-luka batin, kurang tidur, tumpukan mimpi, dan cangkir kopi—semuanya menjadi bahan bakar untuk terus melanjutkan perjalanan ini.
Optimisme yang kumiliki hari ini tidak lagi berbentuk teriakan lantang. Ia lebih mirip bisikan lembut yang datang dari dalam dada, berkata:
“Teruskan, Yo. Kamu sudah sejauh ini.”
Dan aku memilih untuk percaya pada bisikan itu.
Penutup (Epilog)
Pada akhirnya, hidup ini bukan tentang siapa yang paling cepat mencapai mimpi, tapi siapa yang masih mau berjalan ketika kakinya gemetar, siapa yang masih mau berharap ketika hatinya sudah letih. Hidup bukan perlombaan; ia lebih mirip perjalanan panjang melintasi hutan yang asing.
Dan di tengah perjalanan itu, aku belajar satu hal sederhana: tidak ada mimpi yang terlalu kecil bagi mereka yang berani memelihara harapan, dan tidak ada mimpi yang terlalu besar bagi mereka yang mau belajar sepanjang hidupnya.
Karena mimpi bukan soal seberapa tinggi ia digantungkan, tetapi seberapa setia kita menjaganya agar tidak jatuh dari hati kita sendiri.
Semangat terus kk
BalasHapus